PLTS Atap/energitransformasi.id
ENERGITRANSFORMASI, JAKARTA – Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 26 tahun 2021 yang sebelumnya telah disepakati bersama, pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (KemenESDM) berencana akan merevisi permen tersebut, yang mana tentu akan memperngaruhi Sistem PLTS Atap yang Terhubung Dengan Jaringan Pemegang IUPTLU.
Dilansir dari kontan, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, revisi Permen ESDM telah disusun bersama sejumlah pihak, mulai dari pemegang Izin Usaha Penyedia Tenaga Listrik untuk Umum (IUPTLU), pemerintah daerah, asosiasi, Badan Usaha Pembangunan dan Pemasangan (EPC) PLTS, dan Lembaga Inspeksi Teknis (LIT) PLTS.
“Diharapkan Revisi Permen ESDM dapat segera diterbitkan,” ungkapnya, Kamis (12/1).
Ketua Umum AESI, Fabby Tumiwa mengkritisi rencana revisi yang akan diambil pemerintah, yang menurutnya penghapusan sistem ekspor-impor listrik bisa mengubah hitung-hitungan keekonomian pemasangan PLTS atap dan mengendurkan minat adopsi PLTS atap pada segmen rumah tangga atau residensial.
Menurut Fabby, investasi pemasangan baterai atau energy storage system masih terbilang tinggi bagi segmen residensial. Biayanya bisa berkisar US$ 650 - US$ 700 per kWh untuk skala rumah tangga.
Sementara itu, pemanfaatan kelebihan listrik PLTS atap oleh konsumen menjadi tidak optimal tanpa energy storage system, sebab sistem ekspor listrik sebagai pengurang tagihan direncanakan bakal dihapus dalam beleid baru.
"Untuk pelanggan rumah tangga misalnya, kebutuhan listrik besar di malam hari. Dengan kapasitas minimum rata-rata 2-3 kWp, maka ada 40%-60% listrik yang tidak terpakai langsung. Ini yang harusnya bisa diekspor dan dipakai kembali pada waktu lain, ketika permintaan listrik naik," terang Fabby.
Fabby juga menyoroti wacana kebijakan pengembangan kapasitas PLTS atap dengan sistem kuota. Yang mana, sistem tersebut membuka peluang terjadinya praktik suap dan korupsi, sehingga implementasi tersebut harus dilakukan secara terbuka, transparan, diawasi, dan disetujui oleh Kementerian ESDM sebagai regulator.
"AESI meminta agar pembahasan draft akhir melibatkan kami sebelum disampaikan ke Kemenkumham dan (dimintakan) persetujuan dari Presiden," kata Fabby.
Kritikan serupa juga datang dari Komunitas Startup Teknologi Energi Bersih (KSTEB). Amarangga Lubis, anggota KSTEB dan founder dari SolarKita mengatakan, peniadaan skema ekspor impor akan mengurangi minat calon pelanggan PLTS atap dan bisa mematikan bisnis perusahaan rintisan (startup) PLTS atap.
Selain itu, ia juga mempertanyakan transparansi data kuota pengembangan PLTS atap per sistem. Ia khawatir, sistem tersebut bisa membuka peluang terjadinya penyelewengan apabila data kuota sistem tidak terbuka ke publik.
"Kapasitasnya sekarang dibatasi per kuota, itu juga berbahaya, karena yang menentukan kuota adalah pemegang IUPTLU. Bisa saja mereka menyatakan kuota full dan baru diperbaharui setiap 5 tahun, jadi selama 5 tahun itu tidak akan ada penambahan PLTS atap," terang Amarangga dalam keterangan resmi.